Rabu, 15 Mei 2013

CERPEN Senja Di Hari Senin

Aku menemukan diriku sendiri terjerembab di kubangan kesedihan sekian lama. Tak banyak usaha yang telah aku perbuat. Justru aku semakin menikmati tiap jeruji penderitaan yang membelengguku. memaksaku terus mendekam dalam kesengsaraan.


Aku berjalan menyusuri jalan setapak menuju taman. Merasakan dinginnya hembusan angin yang menerpa wajah dan menerbangkan rambutku.


Kesendirian yang sunyi. Aku duduk bersila di bangku favoritku. Bangku kayu di tengah taman. Mengenang kembali tentang sebuah kisah yang pernah ada dalam sejarah hidupku. Kisah yang terlalu sakit untuk dikenang, namun terlalu berharga untuk dilupakan. Kisah yang membawa aku pada sebuah keterpurukan yang tak tertanggungkan. Kejadian yang terlalu pahit, bahkan teramat pahit untuk tak kurasakan pahitnya. Seakan aku tak mampu bernafas saat mengingatnya.

Kupandangi langit merah yang tenang. Bulan telah datang. Bersiap menggantikan tugas Sang Dewi Siang. Namun matahari enggan beranjak dari tempatnya. Ia masih mengintip tak rela sembari tersenyum tipis melihat dukaku. Seakan ingin menawarkan pertemanan yang tak pernah ada sebelumnya. Aku hanya bisa membalas dengan seutas senyum yang tak sempurna. Hati ini sedikit lebih tenang, seakan telah terlahir kembali. Ya, selama ini aku seperti hidup dalam kematian dan mati dalam hidup. Hanya sekedar menjalani apa yang ada. Tak ada gairah kehidupan sedikitpun. Semua bermula saat aku kehilangan kamu.

Dulu, aku menyandarkan harapanku di tepian cinta yang aku rajut bersamamu. Hanya kepadamu. Aku merencanakan tentang banyak hal denganmu. Tentang indahnya hari esok yang takkan terkata. Tentang wangi rerumputan dan eloknya langit merah yang sakral oleh alam yang mencinta. Tapi kenyataan berkata lain. Semua menguap begitu saja.

"Mudah banget nemuin kamu!" Aku hanya menoleh sekilas. Kulanjutkan menatap langit yang kemerahan. Indah sekali.

"Apa nggak bosen tiap Senin ke sini?" tambah Mbak Via, sembari duduk di sampingku. Dan aku hanya menghela nafas.

Tiap Senin, ketika langit berwarna merah, aku selalu di sini, di bangku ini, dan di taman ini. Membayangkan dirimu kembali hadir di sampingku.

"Kinan, sampai kapan kamu akan seperti ini?" belai Mbak Via. Aku tetap tak bergeming. Mataku tetap menatap langit yag kini telah sepenuhnya berubah gelap.

"Kinan...."

"Aku tahu, aku telah menyia-nyiakan hidupku," bisikku lirih.

Mbak Via berdiri di depanku. Memaksaku menatapnya. "Kamu bukan menyia-nyiakan hidupmu, tapi kamu menghancurkan hidupmu! Lima tahun kamu seperti ini. Sadar, Kinan! Rifky nggak akan pernah kembali."

Mendengar namamu disebut, hati ini terasa teriris.

Kamu adalah cinta pertamaku, dan aku selalu berharap kamu juga cinta terakhirku. Kamu yang mengajarkan aku tentang indahnya hidup. Tentang berharganya setiap detik waktu yang berjalan. Tentang indahnya berbagi. Tentang banyak hal. Kamu selalu ada di sampingku. Menemani setiap langkah dalam hidupku. Aku sangat bergantung padamu. Seperti ikan yang bergantung pada air. Kamu bagai candu bagiku.

"Mbak Via, Mbak pasti menganggap aku manusia paling gila yang pernah Mbak kenal, ya kan?" aku mengalihkan kembali pandanganku ke langit. Bintang sedikit demi sedikit saling bermunculan. Menemani bulan yang kesepian.

Mbak Via menghela nafas. "Kamu bukan gila, Kinan. Kamu hanya terlalu yakin akan harapanmu. Harapan yang kamu tahu itu hanya sia-sia. Harapan yang tak akan pernah terwujud. Seberapa keras pun kamu berusaha." Mbak Via membelai lagi rambutku.

"Kinan, Rifky sudah meninggal. Kamu harus bisa terima kenyataan itu...."

Ya, aku sadar akan hal itu. Kamu telah tiada.

Aku selalu ingat hari itu. Hari di mana kita terpaksa berpisah. Kamu harus pergi ke Yogyakarta untuk menyelesaikan urusan keluargamu. Dan aku tak pernah menyangka apabila hari itu adalah pertemuan terakhir kita.

Aku mengantarmu ke Stasiun Pasar Turi, Surabaya. Kamu akan naik kereta ekonomi Kertajaya jurusan Pasar Senin, Jakarta. Sebelum kamu naik ke gerbong kereta, kamu menjanjikan sesuatu kepadaku. Aku selalu ingat akan janjimu, "Aku akan kembali untuk menjemputmu pada hari Senin, ketika langit berwarna merah...." Dan sejak itu, aku selalu menunggumu. Bahkan, lima tahun berlalu aku masih menunggumu. Aku masih berharap, suatu sore di hari Senin aku menemukanmu duduk di bangku favoritku, menatap langit senja. Menjemput aku. Tapi harapanku sia-sia. Kamu tak akan pernah kembali. Tak akan pernah.

Kamu meninggal dalam sebuah kecelakaan kereta api saat akan kembali ke Surabaya untuk menjemputku. Kakimu terjepit badan kereta yang ringsek. Kamu mengeluarkan begitu banyak darah. Tim SAR baru berhasil mengeluarkanmu setelah tiga jam. Namun Tuhan berkehendak lain. Kamu meninggal dalam perjalanan menuju Rumah Sakit.

Tanpa terasa dua aliran banyu bening membasahi pipiku.

"Mbak benar, Rifky nggak akan kembali. Dia telah pergi. Dia pergi membawa janjinya, serta jiwaku...."

"Sudahlah, ayo kita masuk! Waktunya kamu istirahat." Mbak Via memapahku kembali ke kamar.

Mbak Via adalah perawat yang telah merawatku selama lima tahun ini. Dia sudah seperti kakak, sahabat, bahkan Ibu bagiku. Aku mengalami depresi yang cukup hebat setelah mendengar kabar kematianmu. Papa dan Mama tak sanggup melihat kedepresianku. Mereka lebih memilih membawa aku ke sini, ke Rumah Sakit Jiwa ini. Bulan-bulan pertama, mereka masih rajin mengunjungiku. Namun seiring berjalannya waktu, mereka tak pernah lagi muncul. Bahkan, mungkin mereka tak pernah ingat masih memiliki puteri semata wayang yang bernama Kinanti Putri. Tapi sudahlah, semua sudah terjadi.

Kini, aku harus bangkit dari semua keterpurukanku selama ini. Sudah cukup aku hidup dalam bayang-bayang nestapa yang aku buat sendiri. Sekarang waktunya aku memberi warna dalam lembaran-lembaran kehidupanku. Tak ada lagi warna hitam dan kelabu. Yang ada harus berjuta warna kebahagiaan.

Dokter Ferdi, dokter yang selama ini menanganiku, menganalisa bahwa dalam satu-dua bulan terakhir ini aku mengalami perubahan yang sangat signifikan. Aku telah dinyatakan sembuh. Dan aku diizinkan meninggalkan Rumah Sakit Jiwa ini.

Untuk urusan kepulanganku, semua ditangani oleh Mbak Via. Papa dan Mama tak mau tahu. Bahkan mereka tak menjemputku. Mereka hanya mengirim mobil beserta Pak Radi, sopir pribadi Papa.

"Mbak Via, hari ini hari Senin kan??"

"Iya, kenapa?"

"Aku hanya ingin menatap langit senja yang kemerahan di bangku favoritku untuk terakhir kalinya. Boleh kan?"

Mbak Via hanya tersenyum, "Tapi jangan lama-lama...."

Kala itu, langit begitu kemerahan. Menghadirkan sensasi yang menenangkan setiap kali menatapnya. Dan ketika aku menatap bangku favoritku, ada seseorang yang duduk di sana. Aku tak mengenalnya. Dan aku rasa, ia bukan pasien ataupun pengunjung. Karena jam berkunjung sudah ditutup.

"Siapa kamu?"

Dan tebak siapa yang aku temukan. Kamu.

"Kinan, aku datang untuk memenuhi janjiku...."

Kamu tersenyum kepadaku. Senyuman yang selalu membuat aku jatuh cinta. Senyuman yang menghadirkan gemuruh di dadaku. Senyuman terindah di dunia.

"Hari Senin, ketika langit berwarna merah...."

Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang mata aku lihat saat ini. Kamu di sini. Hadir di hari Senin, ketika langit berwarna merah. Kamu memenuhi janjimu.

"Tapi... tapi kamu kan...."

"Kinan...." tiba-tiba Mbak Via memanggilku. Aku pun menoleh padanya. Dan ketika aku menoleh kembali padamu, kamu telah pergi, lagi.

"Mbak lihat laki-laki tadi, yang duduk di sampingku?"

Mbak Via menggeleng, "Laki-laki? Yang mana? Dari tadi yang Mbak lihat, kamu cuma duduk sendirian."

Kekecewaan merayap dalam dadaku.

"Kita pulang sekarang, Mbak Via...."

Mbak Via tiba-tiba berubah sedih. "Maaf sebelumnya. Mbak nggak bisa mengantar kamu. Ada hal penting lain yang harus segera Mbak tangani sekarang."

Lagi-lagi aku kecewa. Tapi aku sadar, tanggungjawab Mbak Via bukan hanya aku. Masih banyak pasien lain yang membutuhkan Mbak Via di Rumah Sakit Jiwa ini.

Dan akhirnya aku pulang hanya sendiri. Ditemani Pak Radi.

Baru beberapa meter aku meninggalkan Rumah Sakit Jiwa, lagi-lagi aku melihatmu. Kamu terlihat begitu tampan. Masih dengan senyuman itu. Kamu melambaikan tangan padaku. Kamu mengatakan sesuatu, namun aku tak bisa mendengarnya. Tapi aku yakin, ikutlah bersamaku, itulah yang terucap dari gerak bibirmu.

"Pak, itu Rifky...." Kuacungkan jariku ke arahmu.

"Rifky siapa, Mbak Kinan?"

"Rifky, Pak. Rifky. Stop! Stop!"

Spontan, Pak Radi menghentikan laju mobil secara mendadak. Dan di saat bersamaan, sebuah truk yang mengangkut bahan bangunan oleng dan menabrak mobil kami. Nyawaku tak terselamatkan.

"Aku datang untuk menjemputmu, Kinan. Kita akan bersama. Selamanya...." Bisikmu di telingaku.

Kamu menggandengku. Menuntunku menuju cahaya putih yang menyilaukan mata.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Blogger templates

Comments

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *